Posted by: luckymulyadisejarah | July 1, 2008

Musik Indonesia; Muzik Malaysia

Indonesia – Malaysia:

 

Bersatu dalam Musik Pop?

 

R. Muhammad Mulyadi

 

 

Latar Belakang

            Pada kunjungan Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono ke Malaysia bulan Januari 2008 secara khusus diadakan suatu konser musik di Auditorium Perdana Angkasapuri. Konser bernama ‘Konsert Setiakawan’ itu dimeriahkan oleh artis terkenal dari kedua negara. Menurut keterangan pemerintah Malaysia yang dinyatakan oleh Menteri Penerangan, Datuk Seri Zainuddin Maidin, “Konsert Setiakawan merupakan lambang semangat setia kawan kedua negara, sekaligus merayakan ulang tahun ke-50 hubungan Malaysia-Indonesia. Dalam acara tersebut menampilkan hubungan seni dan budaya kedua negara serumpun itu yang tidak dapat dipisahkan.

Memang hubungan kedua negara diwarnai oleh hubungan kebudayaan yang erat. Selain seni budaya tradisional, hubungan Indonesia – Malaysia pun diwarnai oleh seni budaya kontemporer. Dalam hal seni budaya kontemporer misalnya terlihat dalam musik pop, musik pop Indonesia dan musik pop Malaysia dapat dikatakan mempunyai hubungan sejak tahun 1950-an. Hubungan tersebut ditandai dengan saling digemarinya masing-masing artis kedua negara satu dengan lainnya. Pada saat itu beberapa penyanyi pop dari Malaysia digemari di Indonesia, demikian pula sebaliknya. Hubungan tersebut berupa beredarnya berbagai musik rekaman antar kedua negara, maupun pertunjukkan musik panggung.

            Sampai dengan era 1990-an hubungan musik pop Indonesia – Malaysia dapat dikatakan berjalan dengan baik. Hubungan itu juga menandakan hubungan yang mesra antar kedua negara. Akan tetapi, pada perkembangan selanjutnya, akhir tahun 1990-an, musik Indonesia lebih menunjukkan dominasinya di Malaysia daripada musik Malaysia di Indonesia. Kondisi tersebut menyebabkan banyak pihak di Malaysia mulai mempersoalkan dominasi musik pop Indonesia di Malaysia. Banyak hal dihubungkan dengan dominasi musik pop Indonesia tersebut, seperti masalah nasionalisme, ekonomi, dan kreativitas seni. Pada sisi lain masyarakat Indonesia sebetulnya sangat terbuka dengan musik Malaysia, dan tidak pernah mempermasalahkan dari mana suatu musik pop berasal.

Musik pop Indonesia dan Malaysia yang pada awalnya mempertegas identitas serumpun, ternyata dapat menjadi batu sandungan dalam hubungan kedua negara tersebut. Makalah ini berupaya menjelaskan permasalahan-permasalahan apa saja yang timbul dalam hubungan musik antar kedua negara?  Apakah musik pop masih menjadi perekat hubungan Indonesia – Malaysia?

 

Musik Malaysia di Indonesia

Dalam tahun 1950-1960an banyak masyarakat Indonesia mengenal seorang artis legendaris asal Malaysia yaitu P Ramlee baik melalui musik maupun film-nya. Lagu-lagu dari P Ramlee yang dikenal di Indonesia di antaranya adalah Engkau Laksana Bulan dan Azizah.  Pada era 1980an beberapa penyanyi Malaysia yang dikenal di Indonesia adalah Anita Serawak dengan lagunya Tragedi Buah Apel dan Sheila Madjid dengan lagunya Antara Anyer dan Jakarta. Pada era 1980 dan awal 1990-an giliran penyanyi slow rock Malaysia menembus pasaran Indonesia, penyanyi tersebut adalah Amy Search (Isabela), Grup Slam (Gerimis Mengundang) dan Iklim Saleem (Suci dalam Debu). Era 1990-an akhir sampai saat ini  penyanyi Malaysia Siti Nurhaliza merupakan penyanyi Malaysia yang paling populer di Indonesia. Era 2000-an kelompok Thoo Pat merupakan grup vokal yang juga sempat menjadi favorit ramaja-remaja Indonesia.

Penyanyi Malaysia era pertengahan 1990-an sampai tahun 2000-an awal yang menjadi trend setter bagi remaja Indonesia, khususnya yang beragama Islam adalah grup Raihan. Grup Raihan merupakan sekumpulan anak muda Malaysia yang berdakwah melalui lagu. Lagu-lagu mereka digolongkan sebagai nasyid, lagu-lagu pujian. Secara irama dapat dikatagorikan sebagai musik pop. Grup ini dikatakan trend setter, karena setelah kepopuleran grup ini di Indonesia banyak bermunculan grup nasyid Indonesia. Raihan pun berulangkali mengadakan pertunjukkan di Indonesia.

 

Musik Indonesia di Malaysia

Musik sebagai penanda hubungan yang mesra antara Indonesia dan Malaysia diperlihatkan pula oleh Presiden Soekarno ketika pada tahun 1960 beliau mengirim Bing Slamet ke Malaysia untuk melatih para musisi di sana. Pada era Soekarno pula, RRI sempat meminjamkan koleksinya kepada RTM. Sehingga sekitar 50% lebih koleksi RTM merupakan lagu-lagu dari Indonesia.  Hal inilah yang mungkin menjadi benih-benih musik Indonesia digemari oleh masyarakat Malaysia. Pada tahun 1970, era orde baru, Indonesia – Malaysia mengadakan pertukaran acara televisi dan radio.

Apabila sebelumnya penyanyi Malaysia  P Ramlee banyak penggemarnya di Indonesia, maka pada giliran selanjutnya, pada dekade 1950- dan 1960an, giliran said Effendy dari Indonesia yang banyak mempunyai penggemar di Malaysia. Melalui lagu Fatwa Pujangga yang pertama kali dipopulerkan sekitar tahun 1957, Said Effendy bukan hanya membuat bintang P Ramlee, yang di era itu sedang populer di Indonesia menjadi redup, tetapi juga penyanyi Indonesia yang mengembalikan citra irama Melayu dari Malaysia ke Indonesia. Lagu ciptaannya, Bahtera Laju menempatkan dirinya sebagai pedendang irama Melayu nomor satu di Indonesia. Said Effendi banyak mencipta lagu-lagu yang sebagian besar populer pada masanya, baik itu di Malaysia, Brunai, maupun Indonesia sendiri.

Meskipun Indonesia telah memiliki perusahaan rekaman sejak tahun 1950-an, para penyanyi dan musisi Indonesia sampai tahun 1977-an banyak yang melakukan rekaman di Malaysia dan Singapura. Hal itu dimungkinkan oleh bayaran yang diterima lebih besar, teknologi yang lebih maju, dan gengsi penyanyi serta musisi sebagai artis yang pernah rekaman di luar negeri, atau studio rekaman di Malaysia dan Singapura kekurangan penyanyi dan musisi.

Faktor lain dimungkinkan oleh banyaknya lagu-lagu Indonesia yang disukai oleh masyarakat Malaysia dan Singapura. Kemudian juga perusahaan rekaman Singapura itu mengekspor kaset lagu-lagu berbahasa Indonesia ke Malaysia, suatu negara yang masyarakatnya juga menyukai lagu-lagu Indonesia. Misalnya pada awal tahun 1962-an, lagu-lagu Koes Bersaudara mendominasi tangga urutan lagu-lagu yang populer di radio-radio Singapura dan Malaysia. Lagu Pagi Indah dan Oh Kau Tahu dianggap saingan berat duet The Everly Brother dari Amerika Serikat dengan lagunya yang hits, All I Have To Do dan Devoted To You.

Penyanyi-penyanyi Indonesia yang pernah rekaman di Singapura antara lain Alfian, Lilis Syarif, Tiar Ramon, Emilia Contessa, Inneke Kusumadewi, Aida Mustafa, Bimbo, Khatanti Yosepha (Tanti Yosepa) dan Wirdaningsih. Any Ray, Ivo Nilakresna, Titik Puspa, Sutan Suti dan Zulkarnain adalah penyanyi yang dikontrak oleh Philips. Band yang sering menjadi pengiring penyanyi Indonesia pada perusahaan rekaman Philips adalah Zaenal Combo dan Eka Sapta. Keduanya dari Indonesia. Sampai pertengahan tahun 1970-an beberapa penyanyi dan musisi masih rekaman di Singapura. Pada tahun 1976 The Kids membuat rekaman berjudul Salam Kasih dari Jakarta dan Indonesia Pusaka. Pada tahun 1977 Marini rekaman di studio Philips Singapura dengan iringan The Step.

Benyamin.S sudah terkenal di Malaysia sejak tahun 1960-an karena sering mentas di negara itu. Anita Tourisia, kemudian Maya Sopha, Ida Royani, Ivo Nilla, dan Deddy Damhudi adalah penyanyi-penyanyi yang pernah melakukan pertunjukkan di Malaysia. Sementara Aida Mustafa sering muncul di TV Malaysia. Beberapa nama penyanyi dan musisi lainnya yang terkenal di malaysia adalah Ervina, Broery Pesolima, Hetty Koes Endang, kemudian band D Llyod`s, Emilia Contesa, Bob Totupuli, dan Koes Plus. 

“Booming” artis Indonesia di Malaysia dapat dikatakan terjadi pada tahun 1970-an. Mereka sudah mendapat tempat yang istimewa di mata dan hati peminat lagu-lagu Melayu di Malaysia. Dekade 70-an adalah era emas artis-artis Indonesia menguasai pasaran musik di Malaysia. Pada dekade 1980-an dan 1990-an ketika irama rock menguasai pentas hiburan Malaysia, kehadiran artis-artis Indonesia di Malaysia tidak terlalu menonjol. Meskipun demikian bukan berarti tidak ada sama sekali. Karena artis yang berkarir sejak tahun 1970-an masih digemari oleh masyarakat Malaysia pada tahun-tahun 1980-dan 1990-an. Fenomena artis-artis Indonesia yang populer di Malaysia pada dekade pertengahan 1990 dan 2000-an diwarnai pula oleh kehadiran artis yang pada saat itu digolongkan sebagai anak muda seperti Krisdayanti, Melly Goeslow, Sheila On 7, Gigi, Dewa, dan Peterpan. Mereka meneruskan kepopuleran artis Indonesia di Malaysia.

 

Pasar atau Hubungan Serumpun?

Sepanjang hubungan musik pop Indonesia – Malaysia berlangsung, musisi-musisi Indonesia banyak menuai sukses di Malaysia. Pada era 2000-an lagu-lagu Indonesia dapat dikatakan mendominasi musik di Malaysia. Dominasi tersebut nampak dari musik yang disiarkan di radio, tv, maupun pertunjukkan-pertunjukkan musik artis Indonesia di Malaysia. Apabila sebelumnya kehadiran musik Indonesia tidak pernah dipersoalkan, atau tidak muncul ke permukaan. Maka pada era 2000-an  mulai muncul suara-suara sumbang tentang dominasi musik Indonesia di Malaysia.

Pada tahun 2005 misalnya dalam Anugrah Era, suatu acara penghargaan musik yang diadakan oleh stasiun Radio Era sejak tahun 2000, muncul kritik kenapa artis dari Indonesia dan Singapura diikutsertakan dalam penghargaan musik tersebut. Hal itu muncul dalam satu artikel di utusan online yang ditulis oleh tiga wartawannya, masing-masing adalah Abd. Aziz Itar, Nor Fadzilah Baharudin dan Mohammas Arif Nizam Abdullah. Tulisan tersebut menyatakan bahwa tujuan Anugrah Era adalah untuk memberikan penghargaan bagi musik Malaysia. Akan tetapi, mengapa mengikutsertakan penyanyi dari luar? Pada Anugerah Era 2005 (AE05) misalnya, terdapat beberapa kategori seperti Band Pilihan yang mencalonkan artis Indonesia seperti Dewa, Sheila On 7 dan Peterpan yang bersaing bersama artis Malaysia. Kategori Artis Harapan Pilihan, Vokal Duo/Berkumpulan Pilihan, Irama Global Pilihan dan Lagu Rock pun.

Lebih lanjut suara sumbang yang ditulis oleh wartawan Malaysia tersebut mempertanyakan alasan Anugerah Era memasukkan pencalonan artis dari luar Malaysia dalam beberapa kategori yang mereka pertandingkan setiap tahun itu? Lebih lanjut wartawan tersebut menuliskan bahwa hal itu merupakan suatu fenomena yang memperlihatkan tidak adanya apresiasi dalam memberi peluang dan pengakuan kepada artis-artis Malaysia. Bahkan, secara tidak langsung, mengarahkan masyarakat Malaysia supaya mengagung-agungkan artis luar dalam industri musik di Malaysia.

Menanggapi tulisan tersebut pihak manajer acara Era, Azrullah Mohd. Nor menyatakan bahwa banyak album artis dari Indonesia yang dipasarkan di Malaysia. Radio Era tidak mau menghalangi mereka karena Radio Era bersikap terbuka dan menyajikan yang disukai para pendengarnya. Dalam hal ini pihak radio Era nampaknya tidak melihat bahwa dilibatkan artis dari Indonesia dalam Anugrah Era sebagai suatu masalah.

Nada sumbang lainnya, muncul terhadap acara Anugerah Planet Muzik 2006 (APM 2006). Suatu acara penganugrahan musik bagi artis Indonesia, Malaysia, dan Singapura. Sebelum penganugrahan diumumkan, banyak yang menduga bahwa kemenangan pasti banyak diraih oleh artis dari Indonesia. Dugaan tersebut muncul karena sejak pertama kali penganugrahan tersebut diberikan, artis Indonesia sering meraih kemenangan dalam kategori terbaik.

Dugaan tersebut ternyata benar, enam dari delapan anugerah APM 2006 untuk kategori terbaik menjadi milik artis Indonesia seperti Artis Baru Terbaik (Ello), Kumpulan Baru Terbaik (Maliq & D’Essentials), Artis Lelaki Terbaik (Marcell), Duo/Kumpulan Terbaik (Peterpan), Lagu Terbaik (Dealova dendangan Once) dan Album Terbaik (Senyawa – Chrisye). Sementara artis Malaysia  hanya meraih kemenangan dalam kategori Artis Wanita Terbaik (Jaclyn Victor) dan Artis Baru Terbaik (Nikki).  Penulis mengenai masalah ini di Utusan Online, Khadijah Ibrahim menuliskan bahwa APM yang diadakan untuk memberi pengiktirafan kepada penggiat-penggiat seni di Malaysia, Indonesia dan Singapura itu sejak dulu hingga kini dilihat tidak menawarkan banyak perubahan. Inti dari tulisan ini kenapa banyak artis Indonesia memenangkan anugrah ini?

Pada 2007, suara sumbang  terhadap penyanyi Indonesia muncul dari Amy Search, seorang penyanyi Malaysia, yang menyatakan bahwa dominasi lagu-lagu Indonesia yang disiarkan oleh radio swasta di Malaysia sudah keterlaluan. Pernyataan Amy itu dimuat di media massa Malaysia dan banyak mendapat perhatian masyarakat Malaysia. Dengan pedas  Amy mengatakan, “kadang-kadang apabila mendengarkan radio kita tidak tahu apakah kita berada di Malaysia atau di Indonesia. Lebih jauh kritik Amy itu menyatakan apakah Malaysia sudah dijajah Indonesia?”

Amy Search menyatakan bahwa dengan banyaknya stasiun radio swasta di Malaysia yang lebih sering menyiarkan lagu-lagu artis dari Indonesia dibandingkan artis-artis Malaysia, telah memarginal-kan karya-karya musisi Malaysia yang menurutnya tidak kalah kemampuannya. Apabila masalah itu dibiarkan, dikhawatirkan penyanyi, pemusik, pencipta lagu, dan perusahaan-perusahaan rekaman Malaysia semakin sulit untuk bertahan. Banyak yang bersimpati dan memandang serius permasalahan tersebut, termasuk kalangan persatuan-persatuan artis Malaysia. 

Pendapat Amy tersebut memang beralasan, karena penjualan album Indonesia yang sukses di Malaysia ditunjang oleh beberapa program radio yang sering menampilkan lagu-lagu Indonesia. Di antaranya adalah program Carta Baek Banget milik Red 104,9 FM dan Carta Ngetop milik Era FM. Keduanya dianggap sebagai andalan publik musik Malaysia dalam meng-up date musik-musik Indonesia. Radio Hot Fm juga merupakan radio yang dominan menyiarkan lagu-lagu dari artis Indonesia. Selain di radio, artis-artis Indonesia juga sering muncul dalam berbagai acara di televisi yang disediakan khusus untuk mereka.

Pendapat Amy terhadap pengaruh radio dalam hal penjualan album artis Malaysia yang cenderung menurun juga cukup  beralasan, karena kehadiran artis-artis Indonesia merupakan saingan yang cukup berat bagi artis Malaysia.  Sebagai contoh, pada awal kehadirannya grup band Peterpan sudah mampu menjual 50,000 unit album di Malaysia sementara lima album Sheila On 7 terjual hampir 300,000 unit. Sedangkan banyak artis Malaysia menghadapi berbagai  masalah dengan berbagai kesulitan dalam penjualan. Untuk menjual sebanyak 10,000 unit album baru saja artis Malaysia mengalami kesulitan.

Sebenarnya bukan hanya Amy yang kecewa dengan kondisi tersebut, banyak artis Malaysia marah dengan sikap radio swasta Malaysia tersebut tetapi  mereka tidak membuat pernyataannya secara terbuka.  Mereka berpendapat bahwa dulu tidak banyak lagu Indonesia disiarkan radio, pada kenyataannya radio di Malaysia dapat tetap berjalan.

Sementara itu, pihak radio berpendapat bahwa banyak pendengar radio yang menyukai lagu-lagu Indonesia. Stasiun radio swasta biasanya hanya menyiarkan lagu-lagu yang terbaik dan mendapat permintaan yang banyak dari pendengarnya. Tidak mempermasalahkan dari negara mana. Perkembangan itu sulit dihalangi karena berhubungan dengan perkembangan zaman, selain bertujuan menarik minat para pendengar, terutama golongan muda. Dalam hal ini, stasiun radio swasta tidak dapat menghindarkan dari lagu-lagu terbaru dan mempunyai unsur-unsur komersial yang dapat membawa keuntungan, seperti dari pendapatan iklan.

Lebih lanjut pihak radio berpendapat banyak penyanyi dan pemusik Malaysia kurang menyadari mengenai hak pendengar untuk menilai dan memilih musik yang digemarinya. Sementara musisi Malaysia masih menghasilkan karya-karya yang statis sama seperti yang pernah mereka hasilkan 20 tahun lalu. Paling menyedihkan apabila budaya berdikari supaya berusaha untuk mencipta lagu-lagu dan musik-musik sendiri tidak ada dalam pemikiran artis-artis Malaysia.

Persatuan Perusahaan Rekaman Malaysia, RIM, juga memberikan perhatian atas banyaknya stasiun-stasiun radio swasta yang menyiarkan lagu-lagu artis Indonesia. Namun, RIM berada dalam posisi yang dilematis karena ada anggota-anggotanya yang secara langsung dan tidak langsung merupakan distributor album-album artis dari Indonesia di Malaysia. Jadi, secara tidak langsung mereka juga tentunya sangat mendukung stasiun-stasiun radio swasta untuk menyiarkan lagu-lagu album artis Indonesia yang diedarkan di Malaysia.

Dominasi artis Indonesia di radio, dianggap merugikan artis Malaysia, karena masyarakat Malaysia terpaksa membayar sejumlah royalti yang banyak dan meningkat setiap tahunnya kepada artis luar. Tetapi bayaran untuk artis musik Malaysia sendiri semakin berkurang. Hal itu disebabkan oleh stasiun radio dan televisi banyak menyiarkan lagu-lagu luar yang sehingga harus membayar royalti kepada artis luar. Bertambahnya stasiun radio tidak memberikan peningkatan royalti kepada artis musik Malaysia. Hal itu sekaligus mengalirkan uang ke luar negeri untuk membayar royalti lagu-lagu. Stasiun radio, terutama swasta, cenderung menyiarkan lagu-lagu artis luar tanpa memikirkan dampak jangka panjang kepada artis Malaysia.

Menurut Tengku Khalidah Tengku Bidin, wartawan Utusan Malaysia, apabila tidak diambil tindakan lambat-laun tidak akan ada lagi generasi yang menghargai karya seni artis Malaysia. Kehadiran lagu luar terutamanya dari Indonesia wajar dibatasi untuk menjaga kepentingan artis Malaysia. Lebih lanjut Tengku  Khalidah  Tengku  Bidin menyatakan bahwa pihak radio swasta terlalu mementingkan unsur keuntungan secara financial.

Mengenai isu pembatasan untuk lagu luar, termasuk Indonesia, Pengurus Besar Rangkaian Radio Media Prima Berhad, Seelan Paul menyatakan bahwa hanya lagu berbahasa Inggris saja yang dibatasi di stasiun Hot FM, tetapi bukan untuk lagu Indonesia. Hal itu disebabkan bahwa Indonesia adalah masyarakat serumpun. Di Malaysia tidak ada peraturan yang melarang untuk  menyiarkan karya luar.

Meskipun demikian ada juga radio swasta yang melakukan pembatasan terhadap lagu Indonesia  misalnya radio Suria FM yang hanya memutarkan sebanyak 15% lagu-lagu Indonesia. Menurut Ketua Pegawai Operasinya, Engku Emran Engku Zainal Abidin, “hanya 30% lagu asing yang ke udara yaitu 15% lagu Indonesia dan 15% lagi lagu-lagu negara lain. Radio Surya Fm memandang bahwa lagu Indonesia sebagai lagu asing.

Bukan hanya artisnya saja yang menuai sukses, musisi Indonesia pun menuai sukses di Malaysia. Sejak Sheila Madjid sering minta dibuatkan lagu oleh Erwin Gutawa, tahun 1990-an, maka musisi Indonesia sejak saat itu sering kebanjiran order dari Malaysia. Sampai saat ini banyak artis Malaysia yang meminta dibuatkan lagu oleh pencipta lagu Indonesia. Hal ini pun menimbulkan nada sumbang dari pengkritik seni di Malaysia. Hal itu terlihat dari komentar terhadap penyanyi Malaysia Anuar Zain yang membuat suatu album rekaman dengan melibatkan tujuh komposer Indonesia dan hanya tiga komposer Malaysia.

Dalam kondisi banyak artis Malaysia merasa tidak puas dengan dominasi artis Indonesia, tindakan Anuar tersebut dipandang melawan arus. Tindakan Anuar tersebut mengundang pertanyaa kenapa artis Malaysia sendiri tidak mendukung komposer lokal? Anuar sendiri mempunyai alasan kenapa memilih komposer Indonesia, menurutnya seni adalah seni, dibuat untuk masyarakat. Seni tidak boleh dipolitikkan. Menurut Anuar musik adalah global, jangan salahkan orang lain dan menyatakan ketidakpuasan terhadap musisi Indonesia. Anuar tidak mempermasalahkan komposer dari Indonesia, atau Malaysia, dia hanya ingin membuat Album yang menurutnya baik dan menekankan bahwa tidak ada unsur politik dan prasangka, seni tidak harus dipolitikkan. Anuar juga menolak bahwa kualitas composer Malaysia bukannya rendah, hanya saja masalah kesesuaian nilai seni. Menurut pengakuannya dia juga sering menggunakan jasa komposer Malaysia.

Selain dalam industri rekaman, banyak artis dari Indonesia yang mendominasi konser-konser musik di Malaysia. Hal ini juga menjadi perdebatan masyarakat Malaysia. Dalam masalah ini peran promotor pertunjukan menjadi pihak yang disalahkan. Promotor pertunjukkan di Malaysia dituduh cenderung mengadakan konser-konser artis dari Indonesia dibandingkan artis-artis Malaysia.

Kehadiran Grup Dewa 19 bersama Gigi, Padi, Cokelat, Ada Band, Ari Lasso, Ratu dan Unggu dalam Konsert Pesta Malam Indonesia di Stadium Merdeka, Kuala Lumpur pada 15 April 2006 menjadi bahan perdebatan banyak pihak di Malaysia. Perdebatan timbul karena konser itu seluruhnya menampilkan  artis Indonesia. Tanpa melibatkan artis Malaysia.

            Suatu nada sumbang terhadap konser-konser musik artis Indonesia di Malaysia dapat dilihat dari surat pembaca sebagai berikut:

 

Saya setuju dengan pendapat Terkejut Benor, Ipoh, Perak yang disiarkan dalam ruangan Forum, Selasa 4 April 2006. Penganjuran Pesta Malam Indonesia berlangsung pada 15 April 2006, dilihat sebagai memberi penghargaan terbesar kepada artis Indonesia. Apa kelebihan mereka sehingga diberi peluang untuk mengadakan persembahan selama delapan jam di negara Malaysia? Apakah Malaysia tidak mempunyai artis sendiri yang mampu memberikan persembahan untuk memberi hiburan kepada rakyat Malaysia.

Apa yang dapat saya perhatikan dewasa ini kebanjiran artis Indonesia ke pasaran musik Malaysia. Setiap kali ada album baru dilancarkan, pasti mereka akan datang ke Malaysia untuk memasarkan album tersebut dan secara tidak langsung akan diadakan konsert untuk bertemu peminat. Sampai bila kita harus menyokong artis Indonesia? Kenapa artis Malaysia tidak pernah diberi peluang seperti ini di Indonesia. Apakah artis Malaysia tidak berkualitas. Berilah peluang kepada artis Malaysia. Jangan hanya untuk mengeruk keuntungan sehingga sanggup meminggirkan artis Malaysia sendiri. Janganlah seperti kera di hutan disusui, anak di rumah mati kelaparan. Sokonglah Industri muzik tanahair.

 

Tindakan promotor mengadakan suatu konser yang dapat dikatakan besar tersebut, menyebabkan munculnya tuduhan bahwa promotor konser musik Malaysia telah menganaktirikan artis Malaysia sendiri, selain membuka peluang lebih luas bagi dominasi artis luar dalam pasaran industri musik di Malaysia. Selain konser tersebut, memang sebelumnya banyak artis Indonesia tampil di Malaysia. Kemampuan artis Indonesia bermain musik secara live dianggap sebagai suatu kelebihan artis-artis Indonesia.

Walaupun mereka dikatakan hebat, tetapi seorang wartawan hiburan Malaysia, Niezam Abdullah, mengingatkan bahwa masyarakat Malaysia seharusnya tidak lupa bahwa artis-artis Indonesia merupakan artis dari luar yang mencoba memonopoli pasaran Malaysia. Seandainya pemusik Malaysia tidak berubah dalam menghasilkan karya agar disukai pendengar, tidak mustahil pasaran album Malaysia pada masa akan datang terus dikuasai oleh orang luar.  

Sementara wartawan hiburan lainnya, Tengku Khalidah Tengku Bidin menyatakan secara lebih arif bahwa pelaku industri musik Malaysia boleh cemburu tetapi jangan prasangka buruk terhadap artis Indonesia sebagai saingan. Industri musik adalah pasaran bebas, tidak diperkenankan memaksa peminat musik untuk membeli produk yang tidak disukainya. Sebaliknya artis Malaysia perlu memberikan sesuatu yang berkualitas.

Amy Search kemudian kembali menjadi pengkritik atas kehadiran artis-artis Indonesia dalam berbagai konser musik di Malaysia. Menurutnya, artis-artis luar diberikan pelayanan secara istimewa dan bayaran yang cukup lumayan untuk mengadakan konser. Pada waktu yang bersamaan promotor seolah-olah mengesampingkan hak artis Malaysia untuk muncul dalam berbagai konser di negerinya sendiri. Artis-artis Malaysia mempunyai kemampuan untuk menarik perhatian penonton, namun para promotor pertunjukkan tetap menutup peluang untuk muncul dalam acara yang besar. Promotor konser sepertinya tidak melihat banyak artis Malaysia yang dapat ditampilkan dalam suatu konser yang besar.

Penyanyi Malaysia lainnya, yaitu Hattan  juga sependapat dengan Amy dalam hal tersebut. Hattan melihat sikap promotor yang terlalu menyanjung artis luar, terutama dari Indonesia, telah memperkecil peluang artis Malaysia untuk memperlihatkan kehebatannya. Ibarat kera di hutan disusukan, anak di rumah mati kelaparan. Hattan menyatakan jangan sampai promotor pertunjukkan meletakkan artis Malaysia di lapisan terbawah dan memberi kepercayaan penuh kepada artis luar untuk mengadakan pertunjukkan.

Sementara itu di antara musisi Indonesia yang  bersikap pasif atau memang tidak mengetahui atas permasalahan yang terjadi, ada juga artis Indonesia yang bersikap terhadap pendapat negatif mengenai kehadiran musik Indonesia di Malaysia. Artis Indonesia tersebut adalah Ahmad Dhani, dari grup band Dewa 19. Ahmad  Dhani meminta supaya grup band dan artis-artis Indonesia yang sering melakukan pertunjukkan di Malaysia tidak disalahkan. Lebih lanjut Dhani menyatakan bahwa “Itu bukan urusan kami. Kami datang ke sini karena diundang oleh pihak promotor. Apa yang penting kami dibayar untuk mengadakan pertunjukkan. Kalau mau salahkan, salahkan saja pihak promotor pertunjukkan”.

Dani juga menyatakan kekesalannya apabila konsernya di Malaysia bersama artis-artis Indonesia yang lain dilihat sebagai satu persaingan yang tidak sehat. Artis-artis Indonesia tidak mempunyai perasaan seperti itu karena mereka menganggap Malaysia adalah satu rumpun bangsa yang sama. Dhani sendiri mengaku  menyukai artis Malaysia seperti Sheila Majid. Dhani heran mengapa banyak artis dari Amerika Serikat, bisa mengadakan pementasan  di Malaysia sedangkan artis Indonesia tidak bisa?”.

 

 

Penutup

Ketidakseimbangan pasar antara artis Indonesia yang mendapat pasar yang luas di Malaysia dan artis Malaysia yang merasakan kurang mendapat pasar di Indonesia menjadi salah satu pemicu munculnya pendapat-pendapat sumbang terhadap kehadiran artis Indonesia di Malaysia.

Hal tersebut mengakibatkan musik pop dalam Hubungan Indonesia – Malaysia telah mengalami pergeseran. Musik pop yang pada awalnya menjadi pengikat hubungan serumpun, justru dapat menjadi batu sandungan dalam hubungan kedua negara.  Makna serumpun menjadi “asing” dalam musik populer kedua negara. Musik pop Indonesia tidak dilihat lagi sebagai cultural sharing (a mutual sharing between cultures) atau sebagai pengkayaan budaya tetapi lebih dilihat sebagai ancaman terhadap keberlangsungan musik pop Malaysia. Terutama dilihat dari sisi industri musik. Musik pop Indonesia ternyata tidak lagi sepenuhnya dianggap sebagai musik serumpun, tetapi mulai dipandang oleh sebagian masyarakat Malaysia sebagai musik dari luar.

Bahkan dikatakan lebih jauh bahwa dominannya musik Indonesia di Malaysia sebagai “penjajahan budaya” (cultural imperialism). Suatu istilah yang sebenarnya harus dipertimbangkan kembali, karena istilah tersebut biasanya digunakan terhadap dominasi budaya Barat terhadap budaya nonBarat. 

Bagi Malaysia ketidakseimbangan pasar menjadi perhatian yang serius. Hal itu dapat dilihat dari pernyataan Wakil Perdana Menteri Malaysia saat berkunjungan ke Indonesia pada akhir tahun 2007. Pada kunjungan tersebut Wakil Perdana Menteri meminta agar Indonesia membuka pasar yang lebih luas bagi produk industri budaya (musik dan film) Malaysia. Wakil Perdana Menteri justru tidak menyatakan perlunya mempertahankan atau bahkan mempererat hubungan budaya kedua negara.

Pada sisi lain, industri musik Indonesia sendiri sebetulnya merupakan pasar yang terbuka bagi produk industri luar. Terlebih dari Malaysia, karena musik Malaysia tidak dipandang sebagai produk industri budaya dari luar. Selama ini tidak nampak  adanya upaya dari pihak-pihak tertentu di Indonesia untuk menghalangi masuknya musik  Malaysia ke Indonesia.

Di tengah globalisasi sebaiknya tantangan dua negara serumpun ini adalah bukan hanya memikirkan persaingan antar musik Indonesia dan Malaysia, tetapi harus membawa musik pop mereka (serumpun) ke dalam industri musik internasional. Seperti halnya sukses Korea dan Jepang, yang sudah diterima menjadi bagian industri musik internasional. Dengan demikian musik dapat terus berperan sebagai perekat hubungan.

 

 

R Muhammad Mulyadi, dosen Jurusan Sejarah Fak Sastra Unpad, peneliti Industri Budaya.

Tulisan ini merupakan makalah pada Seminar Internasional SEBUMI di Fak Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia tanggal  24 Juni 2008.

Sumber/daftar pustaka sengaja tidak ditampilkan.


Responses

  1. kalau musik or lagu Indonesia banyak peminatnya……ya jangan salahkan pendengarnya….. sebagai manusia yang normal tentu akan menikmati lagu yang “enak didenger” bervariasi..karna ini bukanlah sebuah pemaksaan…. justru yang menjadi masalah adalah ada apa dengan musik Malaysia????? mengapa mereka tidak menjadi “Raja” di negaranya sendiri….. masyarakat Indonesia pun sangat terbuka soal musik dari negara manapun….terbukti banyak juga artis luar yang melakukan konser di sini….
    pembatasan lagu Indonesia di Malaysia bukanlah sebuah solusi yang tepat… yang benar adalah buatlah musik yang bisa memenuhi selera pasar….
    Maju terus Industri musik Indonesia …..

  2. musik indonesia bener2 jadi tuan rumah, malah exist di negeri orang. ini karena anak muadanya yang mempunyai bakat seni yang luar biasa.

  3. maaf ya temen2ku dari indonesia. aq orang malaysia. emang diskusi ini udah senyap saat ini kerna radio station sndiri ga mau ikut pembatasan itu. kerna bagi mereka, yg penting itu citarasa/selera pendengar. pendengar di malaysia lbih mmilih lagu2 b’kualitas, espcially dari indonesia.

    tapi music industry di malaysia sendiri ga mau melihat cermin, melihat kkurangan sndiri. terusan mnyalahkan pendengar ga support product malaysia. sedang yang mmilih music barat ga dipersalahkan. emang musik malaysia ga mungkin bisa maju kalu ga mau b’ubah n blajar dari tetangga. egoisnya msih tinggi..

    filem indonesia juga punya masalah yg sama kyk musik indonesia di malaysia. pembatasan seperti 1 indonesian movie in 1month, atau kadang ga ada langsung dalam 1month. aq jadi pusing gmna mau nonton film2 bagus dari indonesia. hanya mampu nonton di youtube aja.

    sedang film2 malaysia yg low quality n low budget, smakin banyak. in both field, we from malaysia are too far behind indonesia. keep it up, indonesia.

    =jujur dari fan musik indonesia dari malaysia=

  4. harus diakui bahwa kreatifitas tidak bisa dipksakn dan kretaifitas berwal dari kegiiha dan kerja keras. promotor-promotor indonesia malah lebihsering dibanding Malaysia mengundang artist-artist dari luar namun band – band luar di undang untuk memberikan motivasi kepada pemusik2 indonesia untuk bisa mengikuti band2 luar, ga ada boikot2,kreatif lahhh, maju terus musik indonesia

  5. i got to agree with daniel on the music part…i think im not so much fan of msians’ songs…probably i find them not as good as indonesians..well of course it varies from different types of listeners…honestly i dont really listen to msians..that doesnt mean im not being nationalism or wat but thats the fact…but then again im quite impressed of msia new comers like aizat and faizal tahir.. theyve done quite well in the music industry too..
    kudos to both malaysia and indonesia 😉

  6. aq orang indonesia dan aq bangga bgt jadi orang indonesia karena indonesia punya industri musik yang maju 🙂
    untuk para musisi indonesia, jangan khawatir cz klo nanti musik indonesia bner2 “diboikot” di malaysia, itu kan bisa jadi motivasi bwt klian untuk menyebarluaskan musik ke pasar yg baru (cthny amerika gtu) 😉

  7. iya, gw kurang setuju kalo dilakukan dengan cara pemboikotan orang. kasian orang selera musik ato filmnya tidak terpenuhi. Bayangkan saja kalo gw disuapin film horor mulu, ihh ogah deh, untuk kita masih dikasih alternatif film2 lain. Seperti juga halnya kita dikasih lagu2 barat2 di radio, maap nih gw kurang suka, gw lwbih suka lagu berbahasa indonesia (ada sih lagu bahasa inggris yang disuka, tp beberapa aja –> biasanya yang udah populer)..
    Btw, indonesia tidak menutup atau menghalangi musik dari negara2 lain, terbukti christian bautista (filipina) boomong di indonesia, utada hikaru (jepang), etc.. btw kemarin gw nonton dahsyat di RCTI ada Dafi (dari Malaysia) nyanyi kok, dan disambut dengan baik. Hujan band juga sudah mulai mencoba menarik peminat musik jakarta.. Semua tergantung selera masyarakatnya, tidak usah dihalang-halangi.. Kalo suka biarkan saja dengar, kalo tidak suka yah jangan didengar… Gitu kok repot..

  8. It’s an amazing piece of writing for all the online
    viewers; they will get advantage from it I am sure.


Leave a reply to daniel Cancel reply

Categories